Sunday, November 11, 2007

Pertolongan sebanding dengan Kebutuhan


إِنَّ الْمَعُوْنَةَ تَأْتِى مِنَ اللهِ لِلْعَبْدِ عَلَى قَدْرِ الْمَؤُوْنَةِ وَإِنََّ الصَّبْرَ يَأْتِى مِنَ اللهِ لِلْعَبْدِ عَلَى قَدْرِ الْمُصِِيْبَةِ

“Sesungguh pertolongan untuk hamba datang dari Alloh sesuai kadar biaya (kebutuhan) dan sesungguh kesabaran bagi hamba dating dari Alloh sesuai kadar bencana”[1]

Dengan jelas sekali sabda Rosululloh SAW ini meyakinkan kita semua akan jaminan Alloh SWT. Sungguh Dia Maha Pemberi Rizki Maha Penolong pasti menurunkan pertolongan dan menganugerahkan rizkiNya kepada hamba sesuai dengan kadar yang dibutuhkan. Imam al Munawi berkata, “Maksud hadits ini adalah jika seorang berkewajiban membiayai hidup orang – orang yang secara syara’ wajib ia biayai maka jika biaya itu sedikit maka Alloh juga memberi sedikit. Jika biaya itu banyak dan orang tersebut mau berusaha dengan keras pada jalur yang benar niscaya Alloh menurunkan anugerahNya dan memberinya rizqi dari jalan yang tidak tersangka sehingga ia mampu mencukupi kebutuhan orang – orang yang wajib ia hidupi. Hal ini dengan syarat bila orang tersebut mau memohon pertolongan kepada Alloh dengan sungguh – sungguh dan tulus. Pada saat itulah dia akan dikabulkan. Karena barang siapa yang harus mengeluarkan biaya dan ia memohon pertolongan kepada Alloh niscaya pertolongan Alloh pasti datang sesuai kebutuhan sehingga tak ada kata lemah baginya selamanya”

Sabda Rosululloh SAW selaku manusia yang paling bertaqwa di atas mendorong kita semua agar percaya penuh dengan kekuatan dan kekusaan Alloh, mengarahkan dan menyandarkan harapan dan permintaan hanya kepadaNya serta secara tersirat melarang melakukan tindakan mengirit biaya (Taqtiir) keluarga. Tidak semestinya seseorang khawatir miskin karena memiliki banyak anggota keluarga sebab Alloh pasti menolongnya. Tetapi sebaiknya dia berjuang dan bekerja maksimal dengan tetap bersandar kepada Alloh. Berangkat dari sinilah ketika sebagian murid datang mengeluhkan susahnya mencari nafkah maka sang guru lalu memerintahkan murid supaya menikah. Perintah ini membuat murid terheran, karena untuk mencukupi diri sendiri saja ia belum bisa, apalagi harus menghidupi isteri. Kendati demikian perintah sang guru tetap ia jalankan. Sesudah mempunyai isteri murid datang lagi dan mengeluhkan penghidupannya yang susah. Sang guru lalu memerintahkan agar murid bertempat di sebuah rumah, lalu membeli kendaraan dan mengambil pembantu. Setelah itu Alloh pun meluaskan rizkinya. Oleh sang guru, saran – saran yang diberikan kepada murid tak lain diilhami oleh hadits di atas. Sungguh Alloh telah berfirman kepada Nabi Dawud as:

يَا دَاوُدُ إِصْبِرْ عَلَى الْمَؤُوْنَةِ تَأْتِكَ الْمَعُوْنَةُ وَإِذَا رَأَيْتَ لِى طَالِبًا فَكُنْ لِى خَادِمًا

“Wahai Dawud, bersabarlah atas biaya (yang harus kamu tanggung) maka pertolongan pasti datang kepadamu. Dan jika kamu melihatKu menuntut maka jadilah pelayanKu”


[1] HR Turmudzi dalam “an Nawaadir”, Bazzar dalam “al Musnad”, Hakim dalam “al Kunaa Wal Alqoob” serta Thobaroni. Seluruhnya bersumber dari Abu Huroiroh radhiyallohuanhu.

Kehilangan Kontrol Diri


إٍذًا نًزًلً الْقَضَاءُ عَمِيَ الْبَصَرُ

“Jika kepastian turun maka mata menjadi buta” [1]

Ketika yang dipastikan (al Maqdhi) telah datang maka cahaya akal meredup dan tertutup sehingga sama sekali tidak bisa melihat manfaat yang harus dicari atau bahaya yang semestinya harus dihindari. Kendati akal itu masih ada tetapi Hijab kekuasaanNya telah menutup. Betapa banyak orang yang berjalan menuju kehancuran meski dia melihat kehancuran itu. Berapa banyak orang yang melepaskan begitu saja kebaikan dunia dan akhirat yang sudah terpampang di hadapannya. “Dan kamu melihat mereka sedang mengarahkan pandangan kepadamu padahal mereka tidak melihat (apa – apa)” QS al A’roof: 198. Dari sini bisa dimengerti bahwa manusia tidak memliki kemampuan memberi manfaat bagi dirinya atau menolak bahaya dari dirinya dan sesunggunya kepastian dan keputusanNya tidak bisa ditolak ataupun digugat.

Ibnu Abbas ra menerangkan bahwa: “ Nabi Sulaiman as singgah di suatu tempat yang kebetulan di situ tidak ada air. Karena itu Beliau hendak menggali sumur, akan tetapi Beliau tidak mengetahui di mana harus menggali dan berapa kedalaman yang harus digali. Untuk itu Beliau memanggil burung Hud – hud untuk meminta tolong. Sebab burung Hud hud memiliki keistimewaan mengetahui letak sumber air di dalam tanah”. Mendengar penjelasan ini seorang bernama Nafi’ bin Azruq membantah, “Bagaimana bisa anda mengatakan seperti itu, padahal burung Hud hud dengan mudahnya masuk ke dalam perangkap?” protes ini ditanggapi oleh Ibnu Abbas ra, “Andai tidak khawatir orang ini berkata begini begitu di sembarang tempat maka sama sekali aku tak menggubris ucapannya! Sungguh penglihatan (Bashor) itu bermanfaat selama kepastian (Qodar) belum datang. Ketika Qodar datang maka ia menjadi penghalang Bashor”. Menyesal dengan bantahannya, Nafi’ berkata, “Sesudah ini saya tak pernah akan membantah anda”

Disebutkan dalam syair yang artinya:

Jika Alloh berkehendak sesuatu atas seseorang, meski dia orang berakal, cerdik dan pandai, maka qodar Alloh pasti datang, ia akan menjadi bodoh dan buta. Akalnya terlepas seperti rambut tercabut hingga ketika qodarNya selesai bicara maka akalnya kembali dan mengambil pelajaran

Syair ini merupakan kandungan dari sabda Rosululloh SAW:

إِذَا أَرَادَ اللهُ إِنْفَاذَ قَضَائِهِ وَقَدَرِهِ سَلَبَ ذَوِى الْعُقُوْلِ عُقُوْلَهُمْ حَتَّى يَنْفُذَ فِيْهِمْ قَضَاؤُهُ وَقَدَرُهُ فَإِذَا قَضَى أَمْرَهُ رَدَّ إِلَيْهِمْ عُقُوْلَهُمْ وَوَقَعَتِ النَّدَامَةُ

“Apabila Alloh menghendaki melaksanakan qodarNya maka Dia melepas akal orang yang berakal sehingga sesudah qodarNya terlaksana Dia Mengembalikan lagi akal mereka dan terjadilah penyesalan” HR Turmudzi.



[1] HR Hakim dari Ibnu Abbas ra

Kejujuran memastikan keberuntungan


أَفْلَحَ إِنْ صَدَقَ

“Dia pasti beruntung jika memang dia jujur” [1]

Tholhah bin Ubaidillah berkata: Seorang lelaki dari Nejd dengan keadaan rambut awut – awutan datang mendekat dan bertanya tentang Islam. Rosululloh SAW menjawab, “Sholat lima waktu dalam sehari semalam” lelaki itu bertanya, “Adakah lagi yang wajib atasku?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, kecuali kalau kamu melakukan kesunahan. Dan puasa Romadhon” “Ada lagi yang wajib atasku?” Nabi SAW menjawab, “Tidak, kecuali kalau kamu melakukan kesunahan” lelaki itupun pergi setelah sebelumnya berkata, “Demi Alloh aku tak akan menambah juga tak akan mengurangi” mendengar ini Nabi SAW bersabda, “Dia pasti beruntung kalau memang dia jujur”. Dalam riwayat lain Nabi SAW bersabda yang artinya, “Jika dia jujur maka dia pasti masuk surga” HR Muslim.

Sungguh ini termasuk salah satu dari Jawami’ul Kalim Rosululloh SAW. Dengan bahasa sangat singkat Beliau SAW memberikan arahan bahwa kejujuran pasti berdampak pada keberuntungan. Marilah kita simak kisah – kisah berikut ini:

1) Jujur, jalan selamat. Seorang datang kepada Ali al Khowash memohon perlindungan dari kejaran musuh – musuhnya. Ali segera memerintahkan supaya orang tersebut berbaring pada suatu tempat dan menutupinya dengan sebongkok daun kurma. Ketika musuh – musuh yang dinantikan datang dan bertanya di mana orang itu maka Syekh Ali menjawab dengan jujur, “Itu di bawah daun kurma” merasa jawaban ini tidak sungguhan dan terkesan melecehkan maka musuh – musuh itu segera pergi dan orang itupun selamat.

2) Jujur, harga keberuntungan. Ketika itu kholifah Umar ra kehausan dan datang kepada seorang wanita tua meminta air putih. Wanita itu mengaku tidak mempunyai air putih. Umar ra lalu meminta susu. Dan lagi wanita itu mengaku juga tidam memiliki susu. Akhirnya seorang gadis datang dan menegur si wanita tua, “Apakah engkau tidak malu” lalu gadis ini berkata kepada Umar, “Dalam kantong kulit (Saqo’) ini ada susu”. Setelah minum, Umar ra bertanya siapa gadis itu dan ternyata ayahnya seorang yang cerdas. Oleh Umar ra gadis itu kemudian dilamar untuk dijodohkan dengan Ashim bin Umar ra. Akhirnya dari pernikahan itu lahirlah anak perempuan bernama Ummu Ashim yang kemudian menikah dengan Abdul Aziz dan dari perkawinan ini lahirlah kholifah adil Umar bin Abdul Aziz.

Kejujuran membawa keberuntungan karena kejujuran mampu membimbing manusia untuk selalu berbuat kebaikan (al Birr) dan tentu saja balasan kebaikan adalah keberuntungan. Sebaliknya ketika lisan seseorang tidak lurus maka prilaku anggota tubuh lain pun tidak lurus dan saat itulah kecelakaan menanti kelak di kemudian hari. Nabi SAW bersabda:

إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ اْلأَعْضَاءَ كُلَّهَا تَسْتَكْفِى اللِّسَانَ فَتَقُوْلُ : إِتَّقِ اللهَ فِيْنَا فَإِنَّمَا نَحْنُ بِكَ إِنِ اسْتَقَمْتَ إِسْتَقَمْـنَا وَإِنِ اعْوَجَجْتَ إِعْوَجَجَـنَا

“Ketika anak Adam memasuki pagi hari maka seluruh anggota tubuh memperingatkan lisan, “takutlah kepada Alloh dalam urusan kami. Sebab kami terserah kamu; jika kamu lurus maka kamipun lurus dan jika kamu bengkok maka kamipun bengkok” (HR Turmudzi dari Abu Said al Khudri)

(dari kajian di Nurul Haromain oleh Abina Ihya' Ulumiddin)

[1] HR Bukhori Muslim.